Sepeda 24 Karat!
Rapor kenaikan kelas telah dibagikan. Libur kenaikan kelas pun tiba. Saat inilah yang paling dinanti-nanti Nisa kecil. Bukan karena menanti hasil nilai rapornya yang tak pernah mendapat angka merah. Bukan karena menanti akan liburan ke rumah simbah di Tegal. Tapi ia menanti uang tabungan yang ia kumpulkan setahun ini di bangku kelas 4 SD. Meski jumlah tabungan yang ia peroleh hanya sembilan puluh delapan ribu rupiah, eyang putrinya berjanji menambahi uang tabungannya untuk membeli sepeda jika rangking lima besar. Tentu itu bukan syarat yang sulit untuk seorang Nisa kecil.
Gadis cilik ini begitu girang menggenggam uang tabungannya. Ia memperoleh uang tersebut dari uang saku yang ia kumpulkan. Nisa kecil lalu berlarian kecil di dalam rumah mencari-cari sosok eyang putrinya untuk menagih janji eyangnya itu. Akhirnya ia menemukan eyang putrinya di kamar sedang beristirahat. Tapi itu tak membuat Nisa kecil urung menagih janji pada eyangnya.
“Yang, katannya kalau Nisa rangking lima besar mau di tombokin beli sepeda.”
“Uang tabunganmu berapa?”
“Ada sembilan puluh delapan ribu rupiah, Yang. Memang sepeda harganya berapa?”
“Paling ya sekitar tiga ratus ribu”
“Wah padahal eyang bilangnya nombokin separuh harganya. Berarti masih kurang banyak, Yang”
“Apa mau sepeda bekas saja yang harganya murah?”
“NGGAK MAU! Nisa pengennya sepeda baru!”ucap Nisa kesal. Ia teringat temannya Putri yang tinggal di sebelah rumahnya yang baru saja membeli sepeda baru. Sepeda Poligon warna kuning yang harganya empat ratus lima puluh ribu rupiah. Garansi satu tahun lagi! Masak ia hanya mememiliki sepeda BEKAS dan tidak ada GARANSINYA!
Eyangnya hafal benar tingkah cucunya ini. Kalau keinginannya tidak di turuti langsung cemberut dan marah. Seperti yang dilakukannya baru saja. “Lho jangan salah! Sepeda bekas itu tidak mesti jelek banyak kok sepeda bekas yang kualitasnya nggak kalah bagus dengan yang baru”, jawab eyangnya bijak.
“Pokoknya Nisa pengen sepeda baru. Kalau dengan uang yang sekarang nggak cukup, Nisa akan ngumpulin satu tahun lagi. Biar menunggu lagi yang penting BAARUUU!” jawabnya ketus. Eyangnya hanya bisa tersenyum melihat kelakuan cucunya yang nomer satu itu.
Eyang putri adalah caranya memanggil ibu dari ibunya Nisa. Eyang putri Nisa mempunyai tiga orang anak yaitu ibu Nisa yang bernama Ani, lalu buliknya bernama Reni, dan yang terakhir omnya yang bernama Seno. Maka dari itu Nisa adalah cucu yang nomer satu karena cucu yang pertama lahir dan dari anak pertama eyangnya.
“Kalau begitu ya sudahlah nanti eyang saja yang nomboki semuanya”, ucap eyang putrinya membuat gadis kecil di hadapannya tersenyum puas. Lalu ia mendekat pada eyangnya dan berkata,”Makasih ya, Yang. Beli sepedanya nanti siang ya!” ucap Nisa kecil yang membuat eyangnya terkejut. Baru saja eyangnya mengalah dan mengabulkan keinginan cucunya itu, sekarang ia minta cepat-cepat dipenuhi. Itulah Nisa kecil, mungkin ia takut keinginannya akan terbang seperti debu yang ditiup angin dan tak pernah kembali.
JJJ
Kring.. Kring.. Kring..
Nisa suka sekali membunyikan bel sepedanya. Sepeda mini warna pink yang memiliki kranjang di depan dan tempat duduk untuk boncengan di belakang akhirnya ia miliki. Sebenarnya dulu waktu TK enol kecil ia sudah punya sepeda tapi sepeda roda tiga dan waktu TK nol besar dibelikan Abinya lagi sepeda roda empat. Sepeda roda empatnya dilepas dua roda kecil di belakang yang berdampingan dengan roda belakang yang besar saat ia mulai kelas dua SD. Tapi dari sepeda-sepeda yang ia miliki, Nisa kecil sangat suka dengan sepeda mini pinknya sekarang. Sepeda roda dua dengan keranjang, bel, lampu depan, dan boncengan, inilah yang sepertinya menjadi sepeda terakhir seorang Nisa sekaligus menjadi sepeda favoritnya. Sepeda yang ia beli dengan hasil kerja kerasnya.
Rok biru tua terjuntai saat Nisa mengayuh sepedanya. Ia sudah SMP. Tapi tetap saja jadi si telatan alias Tukang Telat!. Meskipun jarak rumah ke sekolahnya hanya satu kilometer tetap saja Nisa telat. Biasanya Nisa jalan kaki tapi karena hari ini ia berangkat dari rumah jam tujuh kurang tiga menit jadi ia harus memakai sepeda. Bel masuk SMPnya berbunyi pukul tujuh tepat. Jika telat dan ketahuan guru piket ia harus dipulangkan. Maka dari itu untuk mempersingkat waktu perjalanan Nisa mengayuh sepedanya.
Sesampainya di sekolah, ia memarkir sepedanya secara sembarang. Lalu ia bergegas masuk kelas. Inilah kebiasaan buruk yang sulit ia tinggalkan. Hingga ia berubah menjadi seorang gadis remaja yang duduk di kelas sembilan.
JJJ
Mentari mempertontonkan panasnya yang luar biasa. Ini juga yang membuat Nisa makin kesal. Sekarang ia juga satu sekolah dengan adiknya yang masih duduk di kelas tujuh. Belum lama ini adiknya membeli sepeda baru dengan uangnya sendiri. Sepeda adiknya jauh lebih tinggi disbanding miliknya. Jauh lebih bagus karena masih baru. Warnanya biru yang catnya juga masih berkilau. Berbeda dengan sepeda mininya yang kini sudah pudar warnanya dan berkarat di mana-mana.
Gara-gara sepedanya tak seindah dulu, Nisa sering meminta adiknya untuk bertukar sepeda ketika berangkat dan pulang sekolah. Kebetulan adiknya yang bernama Ima itu belum bisa menggapai sepeda baru miliknya yang tinggi itu.
Rasa malu karena sepedanya sudah jelek itu membuatnya sedikit malu memakainya. Hingga hari itu pun tiba.
Banyak terjadi kasus pencurian sepeda. Teman-teman di sekolahnya mulai membeli rantai untuk mengunci sepeda. Tapi sepertinya maling sepeda itu lebih pintar dari yang kita bayangkan. Dan siang itu Nisa pulang ke rumahnya tanpa menyadari ini..
“Lho, Mi sepedaku mana?” tanya Nisa pada Uminya(umi artinya ibu dalam bahasa Arab).
“Umi nggak tahu. Tadi kamu berangkat sekolah pakai apa?”tanya Umi pada Nisa.
Nisa berfikir sejenak. Seingatnya ia tadi berangkat sekolah jalan kaki. Nisa mulai cemas. Ia bingung di mana sepedanya sekarang. Apa dicuri seperti banyak kasus yang terjadi akhir-akhir ini. Meskipun sepeda itu sudah jelek penampilan fisiknya tapi sepeda itu menyimpan ribuan kisah. Saat pulang sekolah dalam rinai hujan, ia menuntun sepedanya itu sambil berjalan menemani sahabatnya yang kala itu tak membawa sepeda. Ia masih ingat saat hujan lebat mendera, sepedanya membawanya menerobos angin dan dinginnya hujan. Ia masih ingat, saat ia harus terburu-buru karena hampir telat sepeda itu yang membawanya. Kini ia hilang. Entah kemana..
Nisa yang kini tidak bisa disebut anak kecil lagi kembali merasakan betapa beruntungnya ia memiliki speda pink mini itu. Meski tinggi nya sekarang membuat sepeda itu terasa kurang nyaman. Dan fisik sepeda yang sudah KARATAN.. Tapi memori kenangan itu tak bisa dibeli dengan harga apapun!
Akhirnya, ia pergi ke rumah Putri tetangganya yang juga satu sekolah dengannya. Putri juga sering berangkat dan pulang besamanya dan hari ini pun juga begitu. Tapi memang saat berangkat sekolah tadi, Nisa tidak bareng dengan Putri.
“Put, kamu tadi di pparkiran liat sepedaku nggak?”
“Aku nggak ngeliatin tadi, emang kenapa? Sepedamu nggak ada di rumah?”
“Iya. Tapi tadi seingetku aku nggak bawa sepeda makannya tadi pulangnya langsung bareng kamu jalan.”
“Kamu yakin nggak bawa sepeda? Bisa aja kamu lupa. Coba aja ke sekolah. Siapa tahu emang beneran lupa.”
Mendengar jawaban temannya yang cukup masuk akal, Nisa langsung berlari menuju sekolahnya.
“Sepeda.. jangan ilang.. Haduh, Ya Allah memang selama ini aku kurang bersyukur. Tapi semoga sepedanya emang ada di sekolah”, ucap Nisa dalam hati sambil terus berlari menuju sekolahnya.
Kringat deras bercucuran di dahi Nisa yang telah remaja. Bukan saja karena berlari sepanjang perjalanan dari rumah ke sekolah tetapi karena ketakutan dan kegelisahannya juga membuat pikirannya lelah. Sepeda yang sudah enam tahun menemaninya berangkat dan pulang menuntut ilmu, kini RAIB. Oh, ini benar-benar mimpi buruk! Semoga tidak!
Saat masuk pintu parkiran sepeda, pandangannya hanya tertuju pada sebuh sepeda tua yang mematung sendirian di area parkir yang tak begitu luas.
Nisa langsung menyunggingkan senyumnya dan berlari menuju sepeda itu sambil berteriak,“Waaaaa… Ya Allah! Makasih! Makasih!”.
“Ya Allah.. ternyata tadi pagi aku emang bawa sepeda tho.. Haduh, untung wae nggak ilang. Makasih Ya Allah!”ucap Nisa yang kemudian mengendarai sepedanya pulang.
Inilah cerpen yang berdasarkan pengalamanku.
Hehe biar karatan sekarang, bagiku sepeda itu tetep sepeda 24 karat!
Yang nggak akan pernah tua dan jelek meski dimakan waktu ^w^
0 komentar:
Posting Komentar